Penekanan dalam teori konflik Non
Marxis ini ialah dibawa ke dalam analisa yang objektif. Dimotori oleh tiga
tokoh utama yaitu Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dan Randall Collins. Teori
konflik analisis juga merujuk pada simmel dan weber. Weber dalam warisannya
mengatakan tentang individu dalam beraktivitas selalu dasarnya kepentingan
sendiri. Jadi kepentingan individualis selalu menjadi motif dalam setiap
perjuangannya. Kepentingan pribadi menjadi motif setiap perjuangannya karena
berkaitan dengan status kekayaan yang harus diraih. Atau modal ekonomi selalu
mendukung modal simbolik setiap individu. Individu selalu berkolaborasi dengan
kelompok yang selalu melakukan gerakan sosial agar bisa mendominasi kepentingan
individu dan kelompoknya. Kolaborasi kepentingan individu dengan kepentingan
kelompok dalam dimensi institusi juga membuat posisi kelompok semakin kuat.
Individu juga didukung oleh kelompok kepentingan yang secara bersama-sama
menjalankan kekuasaan. Menurut Weber stratifikasi sosial tidak dominan dibentuk
karena factor ekonomi. Seperti Karl Marx sering bicarakan, karena masih ada
didaerah otoritas kekuasaan stratifikasi dibentuk berdasarkan pengaruh yang berbeda.
Misalnya Weber membagi otoritas menjadi tiga yaitu otoritas kharismatik,
tradisional dan legal rasional. Weber justru juga mengadopsi stratifikasi
sosial dimasyarakat masih berdasarkan factor agama dan factor politik. Kemudian
Simmel juga dalam menelaah konflik penekanannya pada pembauran atau integrasi
dan konflik yang selalu berhubungan intim. Menurut Simmel dimasyarakat memang
sering tumpang tindihm, disatu sisi antar kelompok saling berseteru atau
berkonflik tetapi disisi lain mereka melakukan integrasi atau bekerja sama.
Apalagi kalau kita lihat dalam ranah politik. Jadi penekanan konflik ini
diranah politik sering kita lihat terjadi pada saat akan mengusung seorang
calon penguasa. Padahal partai politik dipusat lagi konflik akibat tidak
komitmennya sebuah partai politik, tetapi dilevel bawah justru partai politik
tersebut koalisi mendukung calon penguasa didaerah. disitulah sering kita lihat
konflik disatu sisi, tetapi disisi lain justru terjadi hubungan harmonis atau
bekerja sama.
Kemudian konflik juga terjadi pada
ranah Otoritas. Karena dimasyarakat kekuasaan ada dimana-mana. sehingga
otoritas pada stratifikasi sosial itu bukan dilihat pada orangnya, tetapi pada
jabatan atau status yang dimiliki oleh individu atau perorangan. Konflik
kelompok bisa terjadi apabila dominasi kelompok tertentu sudah melenceng dari
harapan kelompok lainnya. Konflik juga dipicu akibat semakin gencarnya kelompok
kepentingan yang menginginkan adanya perubahan dilevel kekuasaan. Akibat dari
pertukaran sosial yang dilakukan oleh penguasa kepada suatu kelompok saja,
akhirnya melahirkan kelompok oposisi. Kelompok oposisi terbangun akibat dari
semakin masifnya dibangun oleh kepentingan bersama untuk diperjuangkannya.
Karena watak kekuasaan selalu tidak memberikan kesempatan orang lain dilibatkan
pada kekuasaan, justru sebaliknya kekuasaan selalu mengadopsi kelompok
dilingkaran kekuasaannya untuk mengamankan kepentingannya saat berkuasa.
Kelompok oposisi termasuk kelompok kepentingan yang sudah tersadarkan, akibat
dari realitas sosial-politik yang timpang, sehingga memunculkan konflik ekonomi
dan politik.tetapi masih saja banyak kelompok yang semu, akibat dari kurang
kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap lingkungan sosial diekploitasi
oleh kelompok elit berkuasa dengan kelompok kepentingannya.
Kelompok kepentingan yang sudah
tersadarkan boleh melakukan perlawanan terhadap dominasi kelompok elit penguasa
yang selalu melakukan distribusi yang tidak merata. Tetapi perlawanan kelompok
kepentingan harus juga didasarkan pada adanya sekelompok orang-orang yang jelas
nilai dan ideology yang diperjuangkannya. Karena kalau tidak jelas ideologinya
pasti nanti akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Untuk itulah harus jelas dulu,
apa yang mau diperjugankan oleh kelompok tersebut. Kemudian kelompok
kepentingan didalam menyuarakan kepentingannya, juga harus didukung juga aturan
yang memberikan kebebasan menyuarakan aspirasi tersebut. Karena kalau secara
politik Negara tidak memberikan kebebasan individu atau kelompok dalam
menyuarakan kepentingannya, tentu saja perjuangannya akan tidak tercapai juga. Negara
otoritarianisme tidak memberikan kesempatan kelompok kepentingan untuk melawan negara.
Kebebasan dibungkam oleh rezim totaliter kepada public dalam melakukan
perjuangan kepentingannya. Tentu saja kelompok kepentingan akan tidak bisa
melakukan advokasi sosial. Tetapi konteks hari ini kita bahas tentang negara
demokrasi yang memberikan kebebasan berserikat dan berkumpul untuk menyuarakan
aspirasinya dan di lindungi oleh Undang-Undang. Kemudian tentu saja konflik
sosial akan terjadi apabila kosentrasi anggota dalam kelompok kepentingan
komitmen memperjuangkan nilai-nilai kepentingan kelompok.
Intensitas konflik bisa semakin meluas
terjadi apabila sudah menggunakan berbagai macam kekerasan dilakukan oleh
kelompok kepentingan. Misalnya kekerasan psikologis dan fisik, tentu saja
konflik akan semakin meluas. Biasanya intensitas konflik semakin massif terjadi
apabila semua kelompok kepentingan memperebutkan sumber daya dilapangan. Sehingga
disitulah diperlukan aturan main dalam meminimalisasikan konflik terjadi
dilapangan masyarakat. Aturan main harus disepakati oleh masing-masing-masing
kelompok kepentingan, sehingga intensitas konflik semakin mengecil dan
kegaduhan public bisa dicegah pada struktur sosial.
No comments:
Post a Comment